
sumber1news.com
Sungguh sangat prihatin bahwa Korupsi di Indonesia sulit di berantas. Bahkan mungkin Indonesia sudah memasuki fase Darurat Korupsi, Suap dan Komisi.
Trend Korupsi dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan yang cukup besar, sebagimana data Indeks Persepsi Korupsi sepanjang era reformasi dari ICW. Artinya di bidang Korupsi, Reformasi gagal total.
Pada tahun 2022 peringkat korupsi di Indonesia di 110 dari 180 negara dan pada 2023 menjadi 115. Jika dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya, peringkat korupsi Indonesia kalah jauh di bawa negara tetangga, seperti Singapura, Malaysia, Vietnam, dan Thailand.
Kasus kasus besar korupsi seperti kasus
Mantan Dirjen Perkeretaapian Kemenhub, PB, TSK korupsi, kerugian negara Rp 1 Triliun, Pengacara (mantan pejabat MA, makelar kasus), simpen uang hampir 1 Triliun, emas 15 kg, Korupsi Timah 271 T, Korupsi BTS dan masih banyak kasus lainnya baik yg terekspos maupun yang tidak menambah rusaknya hukum di Indonesia.
Apalagi keputusan hakim yang sering di luar nalar. Contoh kasus Harvey Moeis, Majelis hakim menjatuhkan vonis terhadap Harvey Moeis pidana penjara badan 6 tahun 5 bulan, pidana denda Rp.1 miliar subsider 6 bulan kurungan dan membayar uang pengganti Rp.210 miliar.
Masih di kasus timah, Direktur Utama PT RBT Suparta divonis pidana 8 tahun penjara dan denda sebesar Rp1 miliar subsider 6 bulan kurungan. Ia juga dihukum dengan pidana tambahan berupa kewajiban membayar uang pengganti sejumlah Rp4,5 triliun.
Hal yang meringankan Harvey Moeis maupun Suparta adalah sikap sopan selama persidangan menjadi salah satu alasan utama. Selain itu, memiliki tanggungan keluarga yang harus dipertimbangkan dalam penjatuhan hukuman dan belum pernah dihukum.
Lalu bagaimana dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum? Untuk Harvey Moeis, dituntut 12 tahun penjara dan untuk Suparta, hukuman penjara 14 tahun. Artinya secara ekstrim hal yang meringankan, mampu memotong tuntutan penjara JPU sangat significant. Disini jelas tidak ada tolok ukur yang pasti yang bisa dikuantitatifkan. Bukan dikualitatifkan. Sehingga rasa keadilan dan kepastian hukum tiap jaksa maupun Hakim pasti berbeda.
Bicara masalah hukum, wajib bicara keadilan dan kepastian. Karenanya perlu ada tolok ukur yang kuantitatif. Misal, korupsi 10 Miliar, sanksi pidana 10 tahun. Tanpa diberikan remisi setiap tahun. Hal yang meringankan maksimum 2 tahun, sehingga sanksi pidana 8 tahun. Bebas bersyarat 2/3 dari 8 tahun atau tersangka bebas setelah menjalani hukuman 5 tahun, 3 bulan. Dengan demikian siapapun tersangka korupsi tidak ada perbedaan sanksi pidana dan aparat penegak hukum tidak bisa ” bermain ” untuk meringankan tersangka korupsi. Pola inipun juga mampu memberantas suap atau jual beli kasus sebagaimana terjadi dengan mantan pejabat MA, juga mampu memberikan ” Shock Terapy ” pada calon koruptor untuk melakukan korupsi.
Banyak Pakar hukum dengan gelar berderet, baik di Universitas, di Mahkamah Agung, Kejaksaan, KPK, DPR, Kementrian Hukum, maupun para pengamat, namun sangat disayangkan “tidak ada pemikiran untuk merevisi KUHP terkait sanksi pidana untuk koruptor” sebagaimana pola diatas. Mereka hanya pandai mengkritik putusan hakim, bahkan terheran heran dengan sanksi pidana yang dijatuhkan tanpa ada solusinya. Secara tidak langsung mereka juga menciptakan ” ekosistem yang kondusif ” bagi tersangka korupsi. Indonesia selamanya menjadi surga bagi koruptor. Ekosistem ini sudah sistemik, mulai dari jatuhnya putusan majelis hakim yang ringan, adanya remisi setiap tahun, bebas bersyarat, sampai di penjara pun oknum sipirpun sering memberikan kebebasan asal ada cuan. Ini fakta, tidak bisa dibohongi. Karena itu saat ini tidak salah rasanya kalau Indonesia Darurat Korupsi, Suap dan Komisi. Inilah hebatnya negeriku Indonesia. (RED)